Belajar dari Ayah Robert

IMG_0397

“Tetapi hidup tidak mengajarmu dengan cara demikian, dan saya akan mengatakan bahwa hidup adalah guru terbaik dari semuanya. Sering kali, hidup tidak bicara pada kamu. Hidup hanya menggoda atau mempermainkan kamu. Dalam setiap godaan hidup mengatakan ‘Bangun. Ada sesuatu yang aku ingin kamu pelajari.'”

“Jika kamu mempelajari pelajaran kehidupan, kamu akan melakukannya dengan baik. Jika tidak, hidup hanya akan mempermainkan kamu. Orang melakukan dua hal. Sebagian orang membiarkan hidup mempermainkan mereka. Sementara yang lain marah dan balik membalas. Tetapi mereka membalasnya dengan melawan bos mereka, pekerjaan mereka, suami atau istri mereka. Mereka tidak tahu bahwa hiduplah yang mempermainkan mereka.”

“Hidup mempermainkan kita semua. Beberapa menyerah. Yang lain melawan. Dan sedikit saja yang belajar dari pelajaran hidup dan melangkah terus. Mereka menyambut hidup yang mempermainkan mereka. Bagi sedikit orang ini, hal itu berarti mereka mau dan ingin belajar sesuatu. Mereka belajar dan terus maju. Banyak yang keluar, dan sedikit yang seperti kamu berjuang dan bertempur.”

“Jika kamu mempelajari pelajaran ini kamu akan tumbuh menjadi orang muda yang bijak, makmur, dan bahagia. Jika kamu tidak mau belajar, kamu akan menghabiskan hidupmu dengan menyalahkan pekerjaan, upah yang rendah, atau bosmu karena masalahmu sendiri. Kamu akan menjalani hidup dengan harapan agar perubahan besar akan memecahkan semua masalah keuanganmu.”

“Atau jika kamu macam orang yang tidak mempunyai keberanian, kamu hanya menyerah setiap kali hidup mempermainkan kamu. Jika kamu orang macam itu, sepanjang hidup kamu hanya akan mencari aman, melakukan hal-hal yang benar, menyelamatkan dirimu untuk suatu peristiwa yang tidak akan pernah terjadi. Maka kamu akan meninggal sebagai orang tua yang membosankan. Kamu akan mempunyani banyak teman yang sungguh-sungguh menyukai kamu karena kamu adalah pekerja keras yang baik. Kamu menghabiskan hidupmu dengan cara yang aman, dengan melakukan hal-hal yang benar. Tetapi yang sebenarnya adalah, kamu membiarkan kehidupan membuatmu tunduk, menyerah. Jauh di lubuk hati kamu ngeri untuk mengambil risiko. Kamu sungguh ingin menang, tapi rasa takut akan kekalahan lebih besar daripada suka cita kemenangan. Jauh di dalam hati, kamu dan hanya kamu yang akan tahu bahwa kamu tidak berusaha untuk itu. Kamu memilih untuk bermain dengan aman.”

 

Pesan dari Ayah Robert yang kaya

Dari buku Rich Dad Poor Dad
Robert T Kiyosaki
edisi bahasa indonesia halaman 26-27

 

Semoga belum terlambat untuk merangkul keberanian itu lagi. Hai mimpi, masih bolehkah aku mengajakmu ke dunia nyata? 🙂

Prima dan Obsesi akan Bahasa dan Sastra

Obsesi akan bahasa dan sastra mungkin memang sejalan dengan obsesi saya akan dunia visual seperti foto, gambar, ilustrasi, komik, dan lainnya. Mungkin penyebabnya juga sama, saya suka membolak balik buku milik bapak dan ibuk yang kebetulan memang banyak sekali di rumah. Ya, membolak balik, saya bahkan belum bisa membaca saat itu. Yang saya lihat lebih ke gambar-gambar ilustrasi dari banyak buku biologi, peta-peta di buku geografi, dan majalah Bobo. Sesudah bisa membaca, baru saya santap berparagraf-paragraf halaman itu, tentunya hanya yang saya sukai. hehee

Hobi membaca itu sampai sekarang masih berakar di diri ini, walaupun belum tentu satu buku itu bisa saya santap dalam waktu singkat, tapi setidaknya saya menikmati proses menjelajah dari halaman ke halaman. Saya juga tidak terlalu suka meminjam buku, karena saya berpikir nanti akan kesulitan kalau sedang ingin membacanya lagi, maka saya sebisa mungkin membeli dan memiliki buku yang saya inginkan walaupun itu buku sudah terumpuk di pojok pasar loak.

Untuk bahasa sendiri, sejak kecil saya memakai bahasa jawa sebagai bahasa ibu. Saya baru mengenal bahasa indonesia saat masuk taman kanak-kanak, juga kadang ada saudara sepupu berbicara memakai bahasa indonesia. Bahasa indonesia percakapan saya masih buruk sampai SMA, sampai-sampai teman SMA saya protes “Kamu tuh lho, masa ngomong pake bahasa Indonesia aja gak lancar.” Well, sedih yaa. Tapi mulai kuliah, di mana saya kuliah di Jakarta, memaksa saya berbahasa Indonesia setiap hari, dan well, setidaknya saya sudah bisa mengontrol untuk ngomong dengan bahasa Indonesia menggunakan aksen medhok Jawa atau aksen betawi.

Sebenarnya saya sudah jatuh cinta sama bahasa sejak SMP. Segala pelajaran bahasa (Indonesia, Inggris, dan Jawa) saat itu merupakan pelajaran yang paling saya tunggu-tunggu. Bila orang lain merasa terbebani belajar struktur kalimat S-P-O-K, saya justru memfavoritkannya. Di SMP juga saya mengenal bahasa Inggris untuk kali pertama (maklum dari SD ndeso). Guru bahasa Inggris saya di SMP yang sekarang sudah almarhum, Bapak Sabam Siregar, yang membikin saya jatuh cinta. Lagi-lagi hal yang membuat orang mumet malah saya nikmati walaupun nilai saya juga tidak bagus-bagus amat sih. Saya masih ingat guru saya itu begitu membanggakan muridnya yang bisa mengikuti pelajaran beliau, mungkin ini taktik biar murid-murid termotivasi untuk belajar.

Mulai SMP juga saya sedikit-sedikit membaca bacaan yang panjang, novel misalnya. Tingkat kebosanan saya akan sesuatu memang begitu tinggi, makanya untuk novel Harry Potter Jilid 1 saja saya menghabiskan waktu 2 minggu padahal teman saya membacanya cuma 2 hari lho. Saya juga coba-coba menulis cerita pendek yang saya konsultasikan sama guru bahasa Indonesia saya dulu, Bu Nanik. Saya masih ingat pertama kali menulis cerita teenlit,, ah diingat-ingat jadi geli sendiri. hahaa

Di SMA saya bergabung dengan klub sastra. Sok-Sokan ini mah, beneran. Gara-gara hampir semua teman di klub filateli masuk klub sastra, jadi deh ikutan, hehee. Tapi lumayan, walaupun saya tidak pernah tampil membawakan musikalisasi puisi, setidaknya ada 2 puisi saya yang masuk dalam buku kumpulan puisi tahunan klub. Juga saya pernah ikutan lomba memprosakan puisi, yang berhadiah pengalaman, hehee. Entah dari klub ini atau bukan, saya jadi mulai membaca buku-buku yang agak nyastra. Dulu saya suka sekali mengikuti majalah Horizon. Suka lupa mingkem kalau sudah baca prosa yang nyastra banget. Saya suka karya Taufik Ismail dan Chairil Anwar walaupun saya tidak tahu semua karya mereka. Saya ini suka malas mencari, dan setelah mencari pun yang dibaca ya yang kelihatan menarik saja. hehee.

Saya memang suka dengan rangkaian kata-kata yang unik dalam semua karya sastra. Kagum dengan para sastrawan yang bisa merangkai dan memilih kata-kata seperti itu. Karena buat saya sendiri karya sastra itu lebih dari sekedar penyampaian kata, bukan sekedar percakapan di atas kertas yang datar. Sastra buat saya adalah suatu emosi. Para sastrawan ini menginginkan tulisannya ini “hidup”, mereka mengharapkan orang yang membaca tulisan itu muncul emosi yang sama dengan emosi yang dirasakannya saat menulis, emosi yang ingin mereka sampaikan. Hebaaatt.

Ada obsesi saya yang lain selain bahasa dalam bentuk sastra, yaitu penguasaan banyak bahasa. Saya yang masih kecil dulu suka bingung, ini om saya sebenarnya sedang nyetel lagu bahasa apa to? Ini orang menciptakan lagu tau artinya ndak to? Bahasa inggris saja terdengar seperti bunyi tanpa makna di kuping kecil saya dulu karena dari kecil saya murni berkomunikasi dengan bahasa jawa. Saya masih ingat kata inggris pertama yang bapak bilang, “I am” yang saya analogikan dan saya pronouncekan dengan “ayam” dan saya membuat kalimat pertama saya “I am ayam.” Mau ngakak sama diri sendiri ga tega juga ya? akakakakkk

Setelah tahu bahwa setiap kata itu punya makna, maka saya tertarik untuk mempelajari bahasa. Kalau bisa semua bahasa. Ya, semua bahasa termasuk bahasa kalbu (preketeek). Saat kelas sebelas SMA ada pelajaran bahasa asing, kami disuruh memilih salah satu saja. Saat itu ada bahasa Jepang, Mandarin, dan Arab. Saya dengar angkatan sebelumnya ada bahasa jerman,kok ini tidak ada, ya sudah saya milih bahasa Jepang saja, yang penting di rapor ada nilainya, hehee.

Sejak saat itu saya jadi tertarik dengan bahasa Jepang juga. Sampai kuliah pun untung ada UKM bahasa Jepang. Walaupun saya sering membolos, saya berusaha belajar otodidak dari modul-modul yang diberikan. Saya juga menonton dorama-dorama jepang untuk membiasakan kuping saya dengan bahasa ini. Sebenarnya saya ingin mulai belajar bahasa lain juga, saya mengagendakan untuk belajar bahasa Arab, Mandarin, Jerman, dan Korea. Apa daya di sini  fasilitas tidak memadai dan kemalasan saya yang membabi buta.

Kenapa saya sangat menginginkan bisa banyak berbahasa asing? Adalah hobi saya, membaca dan mencari tahu. Alhamdulillah sekarang sudah bisa membaca artikel dan mendengarkan video berbahasa Inggris tanpa terjemahan, lha suatu saat saya terdampar di blog bagus yang itu berbahasa Arab, oh lalaaa~ Masa iya update pengetahuan saya terkendala sama bahasa? huhuu

Yang pasti, obsesi saya akan bahasa dan sastra ini sepertinya akan terus ada selama saya masih hidup. Karena dari mereka berdua juga lah saya belajar, berkomunikasi, memakai seni, dan lainnya. Dan kebetulan saya mendapat mertua seorang guru bahasa (ra ono hubungan e jan e)

— Prima

*curhatan dikit yaaa

Pasar Terapung Muara Kuin dan Pulau Kembang

Pagi itu kami begitu bersemangat bersiap diri untuk berpiknik dan memuaskan dahaga penasaran kami pada Pasar Terapung yang terletak di Muara Kuin. Ayam pun mungkin belum terbangun ketika kami serombongan berangkat dari Banjarbaru. Kami berencana untuk sholat Subuh di Masjid Raya Sabilal Mutaqin, Banjarmasin, karena kami tidak ingin kesiangan sampai di Pasar Terapung nanti. Dan tepat seperti rencana, kami sampai di Masjid Sabilal Muttaqin tidak lama sebelum Adzan Subuh berkumandang, sehingga setelah sholat nanti kami bisa langsung melanjutkan perjalanan ke Pasar Terapung.

Setelah sholat, kami segera menuju dermaga di tepian Sungai Martapura yang terletak di depan Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, di mana kami sudah janjian dengan bapak yang menyewakan kapal kelotok yang akan kami tumpangi menyusuri sungai pagi ini. Di dermaga ini, selain kami juga terlihat beberapa orang yang akan mengunjungi Pasar Terapung, maklum, weekend. Dan perjalanan menggunakan kapal pun dimulai. Kami menyewa kapal dengan ukuran sedang karena kami serombongan hanya berenam kali ini.

Perjalanan menggunakan kapal ini ternyata cukup lama, mungkin sekitar satu jam karena untuk sampai ke Pasar Apung yang berada di Sungai Barito itu, kami harus menyusuri Sungai Martapura dan membelah Sungai Kuin. Seperti daerah lain di Pulau Kalimantan pada umumnya, di tepian sungai ini berjubel rumah-rumah panggung warga asli Banjarmasin. Sungai Kuin sebagai anak sungai yang sempit membuat kesan berjubelnya rumah-rumah panggung ini. Kita dapat mengamati kegiatan pagi yang dilakukan warga Banjarmasin di rumah mereka.

Sesampainya di Pasar Terapung Muara Kuin, sang mentari sudah mulai menampakkan wujudnya. Kapal-kapal yang sarat barang dagangan berkumpul  di tepian Sungai Barito. Kapal-kapal ini tidak hanya merapat dan berdiam diri, karena selain pembeli yang mendatangi mereka, para penjual juga menjajakan dagangannya dengan mengayuh jukung (kapal kecil) mengitari kelotok-kelotok para wisatawan. Seperti pasar-pasar tradisional pada umumnya, berbagai macam barang dijual di sana, terutama kebutuhan sehari-hari warga, mulai bermacam sayuran, buah, daging ayam, sampai kayu bahan bangunan. Kita pun bisa membeli oleh-oleh di sini berupa jeruk Batola, limau ataupun buah kasturi yang menjadi buah khas di Kalimantan.

Satu yang unik di pasar ini adalah si penjaja wadai. Wadai, kue dalam bahasa Banjar ini dijajakan dengan ditata di atas kapal seperti barang lainnya. Namun karena kita akan kesulitan bila mengambil wadai dari kapal lain, si penjual menggunakan semacam tongkat dengan ujung paku untuk mengait wadai. Pembeli juga boleh mencoba mengait wadai yang diinginkan dengan tongkat ini.

Sehabis mengenyangkan perut dengan sarapan wadai-wadai, kami pun segera bertandang ke pulau mungil di tengah tenangnya arus Sungai Barito. Berlomba dengan tongkang-tongkang yang ditarik kapal ponton yang sarat akan batubara dari hulu Barito, kami menuju Pulau Kembang dengan bersemangat.

Pulau Kembang atau sering juga disebut Pulau Monyet ini menjadi salah satu objek pilihan para turis yang bertandang ke Banjarmasin. Seperti namanya, di Pulau Monyet ini berkeliaran ribuan monyet-monyet liar yang bergelayutan riang di rimbunnya pohon bakau. Hati-hati dengan barang bawaan anda, karena setiap barang mungil yang menempel pada tubuh anda akan dianggap makanan dan akan segera menjadi rebutan monyet-monyet ini.

Pulau Kembang yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Barito Kuala ini memang dijadikan balai konservasi oleh Dinas Kehutanan setempat. Sehingga, monyet-monyet serta pepohonan di pulau ini dipelihara dan dilindungi oleh Dinas Kehutanan. Cukup dengan tiket Rp10.000,- per orang kita bisa menikmati sensasi berada di hutan bakau dengan teriakan-teriakan nyaring monyet-monyet liar di pulau ini.

Sepulang dari Pasar Terapung dan Pulau Kembang, lagi-lagi kami menyusuri sungai-sungai di Banjarmasin ini. Dari teman yang memang asli orang Banjar, kami mendapat banyak info mengenai hal-hal yang kami lihat sepanjang perjalanan. Seperti rumah lanting, kapal jukung, dan cerita-cerita lainnya. Dan semangkok besar Soto Banjar Bang Amat menjadi penutup perjalanan kali ini.

Berikut oleh-oleh foto yang jadi koleksi pribadi saya. Salam, Prima.

Ujung Tahun

Masehi 365 hari sudah mau berganti. Kepalanya masih 201 hanya buntutnya ditambahi satu saja. Lalu kenapa?

Tahun ini air mata sudah membuat sumur sengsara membludak. Tapi lalu dikeringkan juga dengan pompa penyedotnya, merek “Cinta”.  Jadi di ujung tahun ini sumur itu kembali kerontang. Tidak ada air mata dan tidak juga ditumbuhi lumut hati di dasarnya. Impas.

Potongan-potongan kertas doa masih memenuhi toples kue. Oiya, sudah sebulan ini tak kutambahi. Pengabdian ke negara ini tampaknya membuatku sedikit gila. Untuk menulis pujian pada Atasan ku saja aku lupa. Maafkan hamba ya Allah, hamba linglung.

Pengabdian negara jugalah yang membawa awan “CumuloNangisTerus” yang membuat sumur itu membludak tak terkendali. Tidak, aku tidak menyalahkan negara. Aku menyalahkan diriku sendiri yang dengan bodohnya terjerat di sini. Jaring itu dulu begitu berwarna-warni dan terlihat lentur, maka kucoba untuk bergelayutan. Tapi ternyata dia lebih berbahaya dari pukat harimau, selain begitu rapat, dia juga memakai lem super merek “Gengsi”. Tidak hanya tubuhku yang terjerat, bahkan kuman Entamoeba Coli di perutku sepertinya ikut terjerat.

Hati yang terjerat pun tampaknya sudah dilapis dengan lilin tipis seperti apel impor dari Amrik yang dibandrol 10 ribu satu buahnya. Iya, mahal, kelihatan selalu segar, padahal di dalamnya sudah ada ulat mungil yang menggerogoti sampai habis. Juga seperti keripik tempe pinggir jalan yang digoreng dengan campuran plastik di minyak panasnya, terlihat dan terasa begitu renyah, tapi akan membikin tubuh terkena kanker cepat atau lambat.

Ini sudah ujung tahun masehi, berarti ujung tahun usiaku yang dua tiga ini. Baru satu pencapaian paling hebat yang bisa aku bangga-banggakan. Seorang yang hebat telah meminangku tahun ini, seorang yang hebat memintaku menemaninya di sisa usianya. Itulah kisah hidup terhebatku setelah kisah dilahirkannya aku dari seorang ibu yang juga begitu hebat.

Banyak yang menanyai pencapaianku berikutnya, tapi untuk bertemu dengan yang terkasih saja dua bulan sekali. Bisa bertahan untuk tetap waras saja sudah sangat kusyukuri.

Entah sebenarnya hidup ini milik siapa, tubuh ini milik siapa kok orang lain begitu mengurusi bioritme kita.

Iya, aku tahu, tubuh ini hanya titipan Sang Ilahi, kita manusia hanya diberikan satu processor untuk berpikir dan mengendalikan tubuh ini agar tidak error atau crash. Dan bukankah seharusnya kita sendiri yang mengatur running program di tubuh kita sendiri? Kita sendiri yang menyesuaikan agar program yang dijalankan tidak mengalami crash, menyesuaikan dengan kemampuan processor dan kapasitas RAM kita? Bukannya diremote dari processor orang lain yang coba-coba membuka Task Manager untuk mengakhiri suatu program dengan paksa.

Ditanyai “Apa gunanya kamu menuntut ilmu kalau akhirnya tidak diamalkan di dunia kerja?”

Yang kutahu, ilmu itu harusnya bisa apa saja dan tidak hanya diamalkan di dunia kerja yang sesuai bidang keilmuannya dulu. Lalu apa gunanya menuntut ilmu kalau akhirnya tidak bisa diterapkan di dunia nyata, di kehidupan sehari-hari? Lalu kenapa ilmu yang tidak bersalah harus dituntut? Aku pusing dengan manusia modern ini. Standar dari planet mana lagi yang mereka adopsi ini.

Pusing. Kalau aku mau mengupdate status twitter ku setiap detik, isinya adalah kata pusing ini. Karena kehidupan yang begitu indah ini suka kita bikin sulit sendiri. “Pusingisasi”.

Kemubaziran dan kesia-siaan yang kulakukan di sepanjang tahun ini tampaknya sudah lebih berkurang dari tahun sebelumnya. Tapi tidak dengan orang di sekitarku, saudara sebangsaku. Orang-orang yang berusaha mengefektifkan waktu hidup malah dinyinyirin, dibilang sok sibuk, sok alim, sok intelek, sok peduli, dan sok-sokan yang lain. Padahal mereka sendiri juga sok-sokan efektif tapi ternyata merugi. Ah tidak tahulah, kata mereka yang penting eksis.

Kalau dipikir-pikir lagi, tahun depan akan seperti apa ya?

Mungkinkah aku bisa memberi tanda cek di depan target-target impian yang kutulis di awal tahun nanti?  Atau masih terkungkung dalam linglung ini?

Apakah lapisan lilin tadi bisa dilarutkan dan aku bisa minta disuntik insektisida biar ulatnya mati?

Akankah toplesku lebih banyak kalimat syukur atau keluhan?

Apakah tangan kekarnya bisa menggenggam jemariku setiap hari?

Apakah akan kunikmati indahnya kehidupan tanpa diremote dari processor lain yang mematikan program-program baru yang kuupdate setiap terkoneksi dengan internet?

Dan apakah ilmuku yang kutuntut dulu bisa kutunjukkan bahwa dia bisa kuamalkan di keseharianku, tidak harus di dunia kerja?

Akankah pusingisasi ini akan terus berlanjut?

Sepertinya sudah saatnya kita matikan televisi. Saya mulai pusing lagi.
— Prima

Banjarbaru, 28 Des 2013

Kesemutan

 

Tangan dan kakiku terasa disemuti

Sumber radiasi elektromagnetik menempel di pipi

Sedikitnya sejam sehari

 

59 menit 60 detiknya terasa lama

Tanpa celotehan gembira

59 menit 60 detiknya terasa singkat

Suara dalam penuh bijak dan candaan hangat

 

Hati dan otakku kesemutan

Absenmu dari jangkauan

Kutenggak kafein sampai kiloan

Tiap jengkal tab browser jadi luapan

Kosongnya tatapan

Minimnya ucapan

Menunggui ponsel berdering panggilan

Menuliskan kalimat-kalimat kerinduan

Menggumamkan doa-doa keajaiban

 

Kupingku kesemutan

Sayup-sayup terdengar dengusan

Di ujung sana seperti keramaian

 

Oh, ini sudah malam.

 

 

— Prima

Banjarbaru, 28 Des 2013