Obsesi akan bahasa dan sastra mungkin memang sejalan dengan obsesi saya akan dunia visual seperti foto, gambar, ilustrasi, komik, dan lainnya. Mungkin penyebabnya juga sama, saya suka membolak balik buku milik bapak dan ibuk yang kebetulan memang banyak sekali di rumah. Ya, membolak balik, saya bahkan belum bisa membaca saat itu. Yang saya lihat lebih ke gambar-gambar ilustrasi dari banyak buku biologi, peta-peta di buku geografi, dan majalah Bobo. Sesudah bisa membaca, baru saya santap berparagraf-paragraf halaman itu, tentunya hanya yang saya sukai. hehee
Hobi membaca itu sampai sekarang masih berakar di diri ini, walaupun belum tentu satu buku itu bisa saya santap dalam waktu singkat, tapi setidaknya saya menikmati proses menjelajah dari halaman ke halaman. Saya juga tidak terlalu suka meminjam buku, karena saya berpikir nanti akan kesulitan kalau sedang ingin membacanya lagi, maka saya sebisa mungkin membeli dan memiliki buku yang saya inginkan walaupun itu buku sudah terumpuk di pojok pasar loak.
Untuk bahasa sendiri, sejak kecil saya memakai bahasa jawa sebagai bahasa ibu. Saya baru mengenal bahasa indonesia saat masuk taman kanak-kanak, juga kadang ada saudara sepupu berbicara memakai bahasa indonesia. Bahasa indonesia percakapan saya masih buruk sampai SMA, sampai-sampai teman SMA saya protes “Kamu tuh lho, masa ngomong pake bahasa Indonesia aja gak lancar.” Well, sedih yaa. Tapi mulai kuliah, di mana saya kuliah di Jakarta, memaksa saya berbahasa Indonesia setiap hari, dan well, setidaknya saya sudah bisa mengontrol untuk ngomong dengan bahasa Indonesia menggunakan aksen medhok Jawa atau aksen betawi.
Sebenarnya saya sudah jatuh cinta sama bahasa sejak SMP. Segala pelajaran bahasa (Indonesia, Inggris, dan Jawa) saat itu merupakan pelajaran yang paling saya tunggu-tunggu. Bila orang lain merasa terbebani belajar struktur kalimat S-P-O-K, saya justru memfavoritkannya. Di SMP juga saya mengenal bahasa Inggris untuk kali pertama (maklum dari SD ndeso). Guru bahasa Inggris saya di SMP yang sekarang sudah almarhum, Bapak Sabam Siregar, yang membikin saya jatuh cinta. Lagi-lagi hal yang membuat orang mumet malah saya nikmati walaupun nilai saya juga tidak bagus-bagus amat sih. Saya masih ingat guru saya itu begitu membanggakan muridnya yang bisa mengikuti pelajaran beliau, mungkin ini taktik biar murid-murid termotivasi untuk belajar.
Mulai SMP juga saya sedikit-sedikit membaca bacaan yang panjang, novel misalnya. Tingkat kebosanan saya akan sesuatu memang begitu tinggi, makanya untuk novel Harry Potter Jilid 1 saja saya menghabiskan waktu 2 minggu padahal teman saya membacanya cuma 2 hari lho. Saya juga coba-coba menulis cerita pendek yang saya konsultasikan sama guru bahasa Indonesia saya dulu, Bu Nanik. Saya masih ingat pertama kali menulis cerita teenlit,, ah diingat-ingat jadi geli sendiri. hahaa
Di SMA saya bergabung dengan klub sastra. Sok-Sokan ini mah, beneran. Gara-gara hampir semua teman di klub filateli masuk klub sastra, jadi deh ikutan, hehee. Tapi lumayan, walaupun saya tidak pernah tampil membawakan musikalisasi puisi, setidaknya ada 2 puisi saya yang masuk dalam buku kumpulan puisi tahunan klub. Juga saya pernah ikutan lomba memprosakan puisi, yang berhadiah pengalaman, hehee. Entah dari klub ini atau bukan, saya jadi mulai membaca buku-buku yang agak nyastra. Dulu saya suka sekali mengikuti majalah Horizon. Suka lupa mingkem kalau sudah baca prosa yang nyastra banget. Saya suka karya Taufik Ismail dan Chairil Anwar walaupun saya tidak tahu semua karya mereka. Saya ini suka malas mencari, dan setelah mencari pun yang dibaca ya yang kelihatan menarik saja. hehee.
Saya memang suka dengan rangkaian kata-kata yang unik dalam semua karya sastra. Kagum dengan para sastrawan yang bisa merangkai dan memilih kata-kata seperti itu. Karena buat saya sendiri karya sastra itu lebih dari sekedar penyampaian kata, bukan sekedar percakapan di atas kertas yang datar. Sastra buat saya adalah suatu emosi. Para sastrawan ini menginginkan tulisannya ini “hidup”, mereka mengharapkan orang yang membaca tulisan itu muncul emosi yang sama dengan emosi yang dirasakannya saat menulis, emosi yang ingin mereka sampaikan. Hebaaatt.
Ada obsesi saya yang lain selain bahasa dalam bentuk sastra, yaitu penguasaan banyak bahasa. Saya yang masih kecil dulu suka bingung, ini om saya sebenarnya sedang nyetel lagu bahasa apa to? Ini orang menciptakan lagu tau artinya ndak to? Bahasa inggris saja terdengar seperti bunyi tanpa makna di kuping kecil saya dulu karena dari kecil saya murni berkomunikasi dengan bahasa jawa. Saya masih ingat kata inggris pertama yang bapak bilang, “I am” yang saya analogikan dan saya pronouncekan dengan “ayam” dan saya membuat kalimat pertama saya “I am ayam.” Mau ngakak sama diri sendiri ga tega juga ya? akakakakkk
Setelah tahu bahwa setiap kata itu punya makna, maka saya tertarik untuk mempelajari bahasa. Kalau bisa semua bahasa. Ya, semua bahasa termasuk bahasa kalbu (preketeek). Saat kelas sebelas SMA ada pelajaran bahasa asing, kami disuruh memilih salah satu saja. Saat itu ada bahasa Jepang, Mandarin, dan Arab. Saya dengar angkatan sebelumnya ada bahasa jerman,kok ini tidak ada, ya sudah saya milih bahasa Jepang saja, yang penting di rapor ada nilainya, hehee.
Sejak saat itu saya jadi tertarik dengan bahasa Jepang juga. Sampai kuliah pun untung ada UKM bahasa Jepang. Walaupun saya sering membolos, saya berusaha belajar otodidak dari modul-modul yang diberikan. Saya juga menonton dorama-dorama jepang untuk membiasakan kuping saya dengan bahasa ini. Sebenarnya saya ingin mulai belajar bahasa lain juga, saya mengagendakan untuk belajar bahasa Arab, Mandarin, Jerman, dan Korea. Apa daya di sini fasilitas tidak memadai dan kemalasan saya yang membabi buta.
Kenapa saya sangat menginginkan bisa banyak berbahasa asing? Adalah hobi saya, membaca dan mencari tahu. Alhamdulillah sekarang sudah bisa membaca artikel dan mendengarkan video berbahasa Inggris tanpa terjemahan, lha suatu saat saya terdampar di blog bagus yang itu berbahasa Arab, oh lalaaa~ Masa iya update pengetahuan saya terkendala sama bahasa? huhuu
Yang pasti, obsesi saya akan bahasa dan sastra ini sepertinya akan terus ada selama saya masih hidup. Karena dari mereka berdua juga lah saya belajar, berkomunikasi, memakai seni, dan lainnya. Dan kebetulan saya mendapat mertua seorang guru bahasa (ra ono hubungan e jan e)
— Prima
*curhatan dikit yaaa