PERTAMA

Siang ini saya sedang bersemangat menyetrika baju-baju yang menyesakkan lemari kecil di kamar kos. Selama menyeterika, terdengar celotehan suara polos gadis kecil yang bermain di lantai bawah. Celotehan dua gadis kecil yang akrab bermain di rumah mungil ini mengingatkan sekilas ke masa kecil saya. Dua anak ini tepatnya cucu dari empunya kosan saya sekarang. Karena kosan saya ini diisi oleh 3 keluarga, yaitu keluarga oma dan opa (empunya rumah), anak I dan keluarganya dan anak II dan keluarganya. Nah, kedua gadis kecil ini adalah anak pertama dari anak I dan anak II. Keduanya pun seumur, jadi sangat nyambung dan asyik sekali mereka bermain. Celotehan polos yang keluar dari bibir mungil mereka begitu cantiknya.

Tapi seperti kebanyakan anak seumuran 6-7 tahun adalah anak yang sedang bandel-bandelnya ingin tahu segalanya. Coba ini dan itu, main ini dan itu, tiba-tiba hilang ke rumah tetangga, dan hal menakjubkan lainnya. Tentu saja hal ini menyenangkan buat si anak, tapi tidak semembahagiakan itu buat orang tua, apalagi ibu mereka yang hanya di rumah menunggui mereka bermain. Sehingga tidak sering juga kata-kata larangan dan bentakan-bentakan sudah mulai dilayangkan ke telinga mungil mereka. “jangan mainan payung, Kakak. Ntar rusak” , “Adek, mainnya di sini aja, ntar ibu kunciin di kamar lho” dan kalimat lain yang tiba-tiba menghentikan pancaran kretifitas yang sedang hebat-hebatnya di usia mereka.

Yang sangat mengingatkan akan sosok saya waktu kecil adalah gadis kecil yang dipanggil “Kakak” ini. Dia sendiri punya adik bayi yang belum sampai berumur satu tahun. Saat si kakak ini mainan payung di dekat si adik, tidak sengaja payungnya mengenai adik bayi. Si mama langsung menghampiri adik bayi sambil ngomel-ngomel. “Tuh kan kena adiknya. Kena mata ni kakak.” Dan si mama langsung menggendong dan mendiamkan tangis adik bayi. Lalu celotehan yang saya dengar selanjutnya adalah adik bayi yang dimanja-manja dengan kata-kata gemes dan manis dari oma dan tantenya. Si Kakak? Setelah sedikit menggerutu dia kembali bermain sama si adek sepupunya dan mencoba ini itu yang lainnya.

Anak pertama. Sulung. Pambarep. Pambayun.

Yang saya ceritakan di atas hanya setitik cerita syahdu dari sosok anak yang kebetulan terlahir pertama di suatu keluarga. Banyak senangnya, banyak juga susahnya. Saya pernah protes kepada bapak dan ibuk, kenapa saya tidak punya kakak? Kenapa tetangga sebelah punya? Kenapa saya harus punya adik? Kenapa saya dilahirkan sebagai perempuan [*plaaakk :p] Dan pertanyaan kenapa ini kenapa itu lain yang menjengkelkan. Tapi setelah 22 tahun berlalu saya menemukan apa itu anak pertama.

Anak pertama itu senang, karena pernah jadi anak tunggal untuk beberapa tahun. Saya sendiri merasakan menjadi anak tunggal selama 6 tahun. Dan selama itu semua-muanya diberi ke saya seorang. Baju-baju lucu. Jajanan. Piknik kemana-mana hanya saya yang diajak. Dimanja sama simbah juga. Tidur bareng bapak dan ibu terus. Semuanya Cuma buat saya seorang. Walaupun masa “anak tunggal” saya dulu, bapak dan ibuk belum punya apa-apa, rumah masih ngontrak, motor butut kreditan, dan segala keterbatasan lainnya, setidaknya saya merasakan bagaimana perhatian itu tercurah hanya untuk saya.

Anak pertama itu “maskot” keluarga. Kebanyakan kerabat kami yang masih tradisional kerap memanggil bapak dan ibuk dengan panggilan “Bapakne Asri” atau “Ibune Asri”, bahkan almh simbah saya memanggil bapak saya dengan panggilan “Sri”. Sayapun bingung saat simbah tiba-tiba memanggil “Sri, jupukno gelas kae!” Dan yang membawakan gelas adalah bapak dan saya. Haha.

Anak pertama itu suka iri karena saat adik lahir dan masih berupa bayi nan unyu semua perhatian mulai berbelok pada adik. Semua orang yang datang ke rumah selalu menanyakan adik bayi. Menggendongnya. Menciuminya. Membuat suara-suara gemes dan unyu di mukanya. Saat dia mulai besar, dan masuk bangku sekolah, tidak ada ibuk yang setia menemani belajarku, selain katanya ibuk sudah tidak bisa mengikuti pelajaran SMP yang rumit, ada adik yang baru masuk SD yang perlu bimbingan lebih. Juga saat bepergian dan hanya adik yang diajak karena adik masih kecil jadi bisa bonceng bertiga. Atau saat bapak memilih untuk mengantar adik membeli mainan daripada mengantarkanku pramuka. Pernah keceplosan ngomong ke bapak “ Kok habib terus to pak e? kabeh-kabeh habib. Aku?”

Anak pertama itu merasa terabaikan saat adik jatuh di dekatku sementara saya tidak tahu kalau dia sudah di situ saja. “Lagi ditinggal sebentar aja adiknya udah nyungsep gini?? Dijagain dong!!” di dalam hati ngomel-ngomel, tapi di mata hanya bisa berkaca-kaca karena ibuk langsung pergi meninggalkan saya dan mengurusi adik bayi. Jujur seumur hidup saya tidak pernah menggendong adik saya. Selain postur saya yang kurus kering saat kecil, adik saya sudah terlanjur super chubby dari lahir. Dan setelah saya membiarkan adik saya nyungsep, saya tidak pernah disuruh menjagai dia. Alhamdulillah~ Maklum deh ya.

Anak pertama itu sebenarnya bingung menentukan pilihan hidupnya sendiri.Tidak mudah hidup dengan tidak adanya panutan yang pasti dan nyata. Sosok adik sendiri biasanya minimal akan mengikuti jejak yang sudah diambil kakaknya. Gampang kan? Paling tidak ada gambaran. Sementara kami mencari-cari tujuan hidup kami sendiri. Menyusun target-target hidup yang penuh dengan perfeksionisme dan idealisme  jiwa muda kami, tapi pada akhirnya lebih banyak jatuh ke pilihan dan keputusan orang tua. Cita-cita sebagai arsitek internasional yang belajar ke Jerman dan Jepang pun tergadai keinginan ibuk yang ingin anak perempuannya jadi PNS saja. Kami merasa bahwa kami, sebagai anak pertama tidak boleh mengecewakan mereka sedikit pun. Semua yang terbaik dan sesuai dengan keinginan mereka. Cita-cita muluk yang sudah disusun sejak kecil pun akhirnya berbelok 180 derajat. Tapi sudahlah, asal mereka berdua bahagia, bagi kami itu sudah lebih dari segalanya. Dalam pikiran kami, toh masih ada adik-adik yang memiliki cita-cita yang tinggi itu. Kalau kami yang pertama ini sudah menyusahkan orang tua (biaya, waktu studi yang lama, tempat studi yang sangat jauh), bagaimana adik-adik kami bisa meraih cita-cita mereka? Insya Allah ini wujud bakti kami. 🙂

Anak pertama itu bahagia karena orang tua biasanya akan lari kepada kami untuk menyelesaikan suatu masalah, bahkan sekedar bercerita dan ngobrol panjang lebar ga mutu. Membahagiakan karena kita begitu dipercaya bisa menyelesaikan masalah itu daripada adik-adik kita. Siapa yang tidak mau berbakti pada orang tua.

Anak pertama itu tumpuan harapan dan cita-cita orang tua. Jangan heran bila kami dididik lebih keras dan tegas daripada adik-adik kami. Orang tua ingin agar kami menjadi sosok yang indah. Teladan dan panutan bagi adik-adik kami. Berdiri di garda terdepan saat orang tua sudah mulai uzur dan bahkan menjadi tulang punggung ketiga setelah mereka.

Anak pertama itu kuat dan keras kepala. Kami sudah terbiasa dididik dengan keras. Bentakan-bentakan sudah kebal di badan dan otak kami. Kami sudah terbiasa mencoba hal-hal baru sendirian, pergi sendirian ke tempat baru, memecahkan masalah ini itu sendiri, bertemu orang-orang yang bermacam-macam. Setiap ada keinginan, kami akan berusaha menggapainya sekeras mungkin apa pun yang terjadi dan entah berapa lama waktu yang dihabiskan. Jangan heran bila kami tiba-tiba menjadi orang yang beringas dan tidak bisa dihentikan saat kami ingin mewujudkan impian kami.

Anak pertama itu sebenarnya manja. Bahkan bisa lebih manja daripada adik-adiknya. Tapi karena bapak dan ibu sudah menjadi korban kemanjaan adik-adik, kami jadi segan menunjukkan manja kami pada keduanya. Makanya kami memasang tameng tegar, keras dan kuat di depan mereka. Kami bilang “tidak apa-apa, Pak. Gampang. Ga usah dianterin” Padahal dalam hati kami merengek-rengek minta diantar dan dijemput sekolah. Semuanya agar orang tua tidak khawatir dan terbebani. Hayo ngaku!!! 😀

Sebenarnya antara saya dan adik saya tidak terlalu dibedakan kok kasih sayang antara adik dan kakak, perbedaan perlakuan kami hanya pada gender kami yang memang berbeda. Soalnya tidak ada acara waris-warisan baju dari saya ke adik, jadi baju kami selalu baru. Urusan makan juga sama-sama doyan, jadi porsi selalu dibagi 50:50 buat kami berdua. Bahkan selama ini yang kelihatan lebih manja adalah saya. Haha. Dan tidak ada acara bully2an di antara kami berdua. Rukun-rukun saja kok. Haha. Tapi dia terbukti mengikuti jejak studi saya dari TK sampai SMA ini. Lihat saja besok kuliah dia masuk mana, hahayy~

Tapi yang pasti saya merasa amat bersyukur karena dilahirkan pertama di keluarga ini. Saya sudah dibentuk menjadi sosok yang seperti saya inginkan dan saya nikmati sekarang. Waktu kecil sampai ABG labil memang saya selalu ngomel-ngomel, kenapa ini ga boleh itu ga boleh sementara teman-teman saya dibolehkan sama orang tuanya. Masih ingat saya melanggar larangan-larangan orang tua diam-diam dulu. Sangat bersemangat memberi predikat diri sendiri sebagai “pemberontak”. Tapi sekarang saya tahu maksud semuanya. Jadi orang tua itu susah ya, apalagi kalau anaknya dalam masa labil. Rempooong.

 

Terima kasih Bapak dan Ibuk yang sudah membesarkanku dengan hebat. You’re the greatest parent in the world. :*

 

 

— Prima

Utan Kayu, 8 April 2012

 

 

*eko dan prima kebetulan sama-sama anak pertama (ketahuan dari namanya kali yee),, itu kenapa kami bisa saling mengerti,, ewwww